Dalam hukum keluarga di Indonesia, penghasilan istri PNS dianggap sebagai harta bersama, yang disebut "harta gono-gini". Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama pernikahan, baik oleh suami maupun istri.
Menurut Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Penetapan Pelaksanaannya (UU Perkawinan), harta gono-gini meliputi:
Harta Bersama
1. Harta yang diperoleh selama pernikahan;
2. Harta yang diperoleh dari hasil kerja atau usaha bersama.
Pembagian Harta Gono-Gini
1. Jika terjadi perceraian, harta gono-gini dibagi secara adil;
2. Pembagian harta gono-gini dilakukan berdasarkan kesepakatan suami-istri;
3. Jika tidak ada kesepakatan, pembagian harta gono-gini ditentukan oleh pengadilan.
Prinsip Pembagian
1. Harta gono-gini dibagi secara proporsional;
2. Pertimbangan dalam pembagian: kontribusi masing-masing pihak, lama pernikahan, dan kebutuhan anak;
3. Harta bawaan (harta milik sebelum pernikahan) tidak termasuk harta gono-gini.
Penghasilan Istri PNS
1. Penghasilan istri PNS dianggap harta bersama;
2. Penghasilan tersebut termasuk gaji, tunjangan, dan bonus;
3. Jika istri PNS memiliki usaha sendiri, penghasilannya juga dianggap harta bersama.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), berikut adalah pengecualian harta gono-gini:
Harta Bawaan
1. Harta milik suami/istri sebelum pernikahan;
2. Harta warisan atau hadiah yang diterima sebelum pernikahan.
Harta Pribadi
1. Harta yang diperoleh dari warisan atau hadiah selama pernikahan, tetapi dengan syarat tidak dicampur dengan harta bersama;
2. Harta yang diperoleh dari hasil kerja atau usaha pribadi sebelum pernikahan;
3. Harta yang diperoleh dari ganti rugi atau kompensasi.
Harta Wakaf
1. Harta yang diwakafkan oleh suami/istri;
2. Harta yang digunakan untuk kepentingan umum atau sosial.
Harta Hibah
1. Harta yang diberikan oleh suami kepada istri atau sebaliknya;
2. Harta yang diberikan oleh orang tua atau keluarga.
Kriteria Pengecualian
1. Harta tersebut tidak dicampur dengan harta bersama;
2. Harta tersebut tidak digunakan untuk kepentingan rumah tangga;
3. Harta tersebut tidak diperoleh dari hasil kerja sama atau usaha bersama.
Sumber Hukum
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 95-96;
3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan.
0 Komentar