Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Indonesia

Keberadaan Pengadilan Agama Islam di Indonesia sudah ada sejak masuknya agama Islam, misalnya di kerajaan Mataram (1610-1645) yang dikenal Peradilan Serambi, sebab tempat mengadilinya dilakukan di mesjid dan para hakim diangkat oleh sultan.

Sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, keberadaan Pengadilan Agama di setiap daerah memiliki keragaman nama, seperti di Jawa dan Madura dikenal Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi. Kemudian wilayah Kalimantan Selatan dan Tumur dikenal Qadhi dan Pengadilan Tinggi Qadhi, dan di Aceh dikenal Mahkamah Syariah.

Setelah Indonesia merdeka dalam UUD1945 diakui keberadaanya Pengadilan Agama sebagai badan peradilan di lingkungan Kekuasaan Kehakiman. Melalui UU No.14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, secara formal mengakui keberadaan Pengadilan Agama, namun terkait susunan dan kewenangannya masih beragam,  adapun hukum acara yang digunakan mengacu pada HIR , beserta pedoman acara yang berlaku di Peradilan Agama Islam.

Secara pelaksanaan nya Pengadilan Agama mengadili perkara yang menyangkut keperdataan umat Islam, hal ini didasarkan pada UU No.7/1989 Jo UU No.3/2006 Peradilan Agama, seperti perkawinan, waris, waqaf dsb yang berlandaskan pada ketentuan hukum yang terdapat pada Al-Qur'an, Sunnah, Ijtihad yang dijabarkan lebih lanjut dalam UU perkawinan dan Komplimasi Hukum Islam (KHI).

A. Pengertian dan Konsep Dasar

  1. Peradilan dalam bahasa arab;Al-Qadha dan dalam bahasa Belanda rechtpraak bermakna proses mengadili untuk mencari keadilan dalam upaya penyelesaian sangketa hukum di hadapan lembaga berwenang berdasarkan hukum yang berlaku.
  2. Pengadilan dalam bahasa arab;Al-Mahkamah, dalam bahasa Belanda raad adalah lembaga atau instansi yang berwenang menyelesaikan sangketa hukum. Pengadilan Agama dapat dibedakan secara umum dan secara khusus yang diatur dalam UU No.3/2006, yakni secara khusus seperti Pengadilan Syariah yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam atau yang dikenal Mahkamah Syariah.
  3. Pengadilan Agama adalah salah satu badan Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Agama berkedudukan di kota/kabupaten provinsi. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibu Kota Provinsi. 
  4. Hukum Acara Perdata, ketentuan hukum acara yang berlaku di dalam lingkup Pengadilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini (UU No.7/1989).   

B. Sumber-Sumber Hukum

Berdasarkan penegasan Qs An-Nisa ayat 59 dan Hadits Muadz bin Jabal, para ahli sepakat sumber hukum dalam berbagai kajian studi hukum Islam adalah;Al-Quran, As-Sunnah dan Ar-Rayu atau Ijtihad Ulim Amri. 

C. Alasan Dikeluarkannya Undang-Undang Pengadilan Agama

Menurut Prof. Dr. H. Abdul Gani Abdullah, SH., terdapat beberapa alasan mengapa UU No. Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama harus dibentuk. Beberapa alasannya adalah Filosofis, Sosiologis dan alasan Yuridis. 

  1. Alasan Filosofis, sebagai bentuk cita-cita pola pikir masyarakat Indonesia sejak Islam datang hingg dewasa saat ini. Akibatnya tertransormasi dalam hukum Nasional Indonesia hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945.
  2. Alasan Sosiologis, dalam melaksanakan syariat, umat Islam banyak dihadapkan dengan persoalan hingga sangketa seperti perkawinan, waris ataupun perkara waqaf, yang mana di setiap persoalan itu memerlukan penyelesaian. 
  3. Alasan Yuridis, berdasarkan pasal II aturan peralihan bahwa segala peraturan yang ada masih berlaku sebelum diadakan peraturan yang baru. Beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia yakni; Hukum Produk Belanda, Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum hasil Legislasi Nasional. Dalam Menjalankan mandat konsitusi dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 maka terbentuk beberapa peraturan yang mengatur terkait keperdataan umat Islam seperti UU No.5/1960 Jo UU No.41/2004 tentang Perwakafan. 
D. Landasan Hukum Sebelum dan Setelah Diberlakukan UU No.7/1989

Jika sebelum diberlakukan UU No.7/1989 Pengadilan Agama kedudukannya masih belum sama rata dengan Peradilan lainnya, contohnya secara administratif putusan Pengadilan Agama harus dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Beberapa perubahan yang terjadi setelah berlakunya UU No.7/1989:
  • Pengadilan Agama Menjadi peradilan Mandiri dan kedudukannya benar-benar sejaja dan sederajat dengan peradilan lain seperti Pengadilan Militer, Umum dan Tata Usaha Negara;
  • Ketentuan Hukum Acara Pengadilan agama telah sama dan seragam di seluruh Indonesia, yakni hukum acara yang berlaku di Peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No.7/1989;
  • Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan yakni dengan memberikan hak yang sama di muka pengadilan demi membela haknya;
  • Setelah ada juru sita, maka putusan Pengadilan Agama tidak perlu lagi dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri.
E. Berlakunya sw UU No 3/2006 tentang Perubahan UU No 7/1989

Dengan adanya perubahan terhadap hierarki dalam lingkungan Pengadilan Agama dan perkembangan ekonomi syariah pada tahun 2006 maka dikeluarkan UU No.3/2006  tentang perubahan UU No.7/1989 pada 30 Maret 2006 dengan persetujuan DPR dan Presiden RI. Setidaknya terdapat 42 perubahan dalam beberapa pasal, salah satunya bahwa pada pasal 2 disebutkan bahwa Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari pencari keadilan yang beragama Islam dalam perkara tertentu.  

F. Asas-Asas Umum 

Beberapa asas yang berlaku secara umum berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UU No.7/1989 antara lain:
  • Asas Personalitas Keislaman, artinya bahwa yang tunduk pada kekuasaan lingkungan Pengadilan Agama hanya mereka yang beragama Islam. Penganut Non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan kepada kekuasaan pengadilan. Adapun mengenai Pengadilan Agama Khusus yakni  Aceh, Mahkamah Syariat yang memberlakukan Qanun Syariat Islam maka non muslim memilih Hukum Islam atau KUHPidana, namun jika KUHP tidak mengaturnya maka wajib mematuhi ketentuan Qanun Syariat Islam di wilayah Aceh.
  • Asas Kebebasan, dalam proses mengadili Pengadilan Agama bebas tanpa pengaruh atau interpensi dari badan kekuasaan lain. 
  • Asas Wajib Mendamaikan, dalam ajaran Islam yang diutamakan dalam penyelesaian sangketa adalah secara Ishlah atau perdamaian (Qs.49:10), maka dari itu kewajiban para hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersangketa secara benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.  Upaya Hakim dalam upaya damai sebatas anjuran, nasehat dan penejelasan serta memberi rumusan selama diminta oleh kedua belah pihak. 
  • Asas sederhana, cepat dan biaya ringan, makna pada asas ini berdasarkan pada proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu lama hingga bertahun-tahun dan tidak memakan biaya yang mahal untuk menyelesaikan perkara. 
  • Asas Persidangan Terbuka untuk Umum, makna terbuka di sini memiliki makna yang luas termasuk keluwesan hakum dalam pemeriksaan persidangan selain itu juga diperkenankan kepada pengunjung unuk mengahdiri dan menyaksikan jalannya sidang. Asas terbuka untuk umum ini dikecualikan untuk perkara perceraian. 
  • Asas Legalitas, bahwa pengadilan mengadili menurut hukum yang berlaku tanpa membeda-bedakan orang.
  • Asas Equality, artinya kesamaan hak untuk memperoleh keadilan di depan hukum atau persidangan tanpa membeda-bedakan status sosial dan lain sebagainya. 
  • Asas Aktif memberi bantuan, dalam proses pencari keadilan tidak hanya menitik beratkan pada penggugat dan tergugat dengan bantuan kuasa hukumnya, namun hakim juga berupaya menggali keadilannya yang sebenarnya.  

Posting Komentar

0 Komentar